loading...

Friday 29 June 2018

Prabowo dan Ongkos Politik

Oleh : Ahmad Fahrizal Aziz
(Ketua Paguyuban Srengenge)

Apa makna dibalik "sumbangan dana" yang akhir-akhir ini dilemparkan Capres Gerindra, Prabowo Subianto? Tentu bermacam-macam.

Bisa dalam arti sebenarnya, bahwa Prabowo memang sudah habis-habisan untuk nyapres, sejak 2004, dimulai dari konvensi capres Golkar. Lalu rela menjadi cawapres mendampingi Megawati, dan pada puncak elektabilitasnya, ia berhasil maju sebagai capres pada 2014.

Kita tahu, ongkos politik tidak murah. Meskipun Prabowo orang kaya, saat diaudit KPK pada 2014 lalu, kekayaannya diatas 1 Triliun atau 1.000 Milliar.

Besar sekali. Kekayaan Jokowi bahkan tak ada 5%-nya. Bahkan Prabowo lebih kaya dari Megawati dan Jusuf Kalla, apalagi SBY. Entah kita mau percaya atau tidak, kekayaan SBY dalam LHKPN hanya dibawah 10 Milliar.

Akan tetapi statemen Prabowo tersebut juga bisa bermakna lain, sebagai "tes pasar", sebagai upaya untuk memastikan barisan pendukungnya yang loyal. Juga untuk membuktikan hasil survei, yang selalu menempatkannya diurutan kedua, sejak/dalam lima tahun terakhir.

Juga bisa jadi angin positif, yang menyadarkan kita betapa mahalnya ongkos politik, biaya kampanye, yang berdampak pada "dipermainkannya" anggaran negara, untuk proyek atau hal-hal lain, sampai pada perilaku korupsi.

Juga menyadarkan kita betapa ada "aktor kapital" yang selalu bermain, menawarkan jasa-nya, tentu tidak dengan cuma-cuma.

Sebab uang tidak ber-tuhan, juga tidak ber-ideologi. Jasanya bisa diberikan kepada semua pasangan sekaligus, ibarat main judi. Agar tidak rugi, maka megang keduanya saja. Pasti salah satunya yang menang.

Sebab mahalnya ongkos politik, juga tak seberapa dengan potensi anggaran negara yang bisa "dimainkan". Katakanlah bertaruh 1 Triliun, dibagi dua. Nanti diupayakan mengelola proyek yang jumlahnya 10 kali lipat.

Capres tentu tidak bisa mengontrol satu per satu darimana anggaran berasal. Tahu-tahu fotonya ada di baliho, kaos-kaos, media massa, atau amplop-amplop.

Setelah punya kuasa, lalu ada bisikan-bisikan, bahwa perusahaan A milik si B dulu pernah bantu kampanye sekian miliar. Bisikan-bisikan liar yang menyandra suasana psikologi siapapun pemimpinnya.

Itulah kenapa masyarakat perlu peka, jangan apolitik. Tokoh-tokoh kompeten harus kita dukung, minimal kita perbincangkan, kita apresiasi. Kita kaji latar belakang, kebijakan, serta sikap-sikapnya.

Perihal nanti apakah wataknya berubah ketika memperoleh kekuasaan, itu soal lain, itu urusan pribadinya dengan Tuhan.

***
Atau Prabowo ingin namanya tetap beredar di permukaan, makanya harus terus melempar isu. Harus terus ada panggung, biar tak tenggelam.

Kita tidak tahu, dan biarlah itu berlalu sebagai realitas perpolitikan kita.

Hanya, kegelisahan kita soal ongkos politik memang belum usai. Banyak tokoh kompeten, yang kita harap jadi pemimpin, yang kita percaya untuk mengelola bumi pertiwi, tidak bisa maju karena salah satunya terkendala biaya, meskipun faktor lain juga tidak kalah penting : political will partai politik.

KPU selama ini sudah bekerja sangat maksimal. Sekarang bahkan aturan lebih diperketat, untuk pemasangan alat peraga. KPU sendiri juga akan menyiapkan alat peraga bagi calon yang bertanding. Sosialisasi juga sudah disiapkan, baik di media cetak dan elektronik, atau sosialisasi ke masyarakat.

Artinya, tak perlu lagi risau soal ongkos politik. Sudah diongkosi negara. Tetapi tetap tidak cukup, tetap ada ongkos-ongkos lain yang dikeluarkan. Entah untuk apa. Sampai tokoh sekaliber Prabowo Subianto, mantan menantu keluarga cendana itu, mengeluhkannya. []

Blitar, 25 Juni 2018

0 comments:

Post a Comment