loading...

Friday 29 June 2018

Orang-orang yang Golput

Oleh : Ahmad Fahrizal Aziz
(Ketua Paguyuban Srengenge)

Bagaimana agar negara maju? Jawaban Dahlan Iskan sungguh bagus : anda tidak perlu berpikir bagaimana agar negara maju, berpikirlah bagaimana hidup anda bisa maju, maka negara akan ikut maju.

Kalau tidak salah itu pertanyaan yang diajukan mahasiswa, entah dalam forum apa saya lupa. Yang saya ingat itu petuah Dahlan Iskan, mantan menteri BUMN yang juga dikenal sebagai bos media.

Mahasiswa memang terkenal kritis, kuat bacaan dan mengantongi data. Tetapi kadang lupa mengurus dirinya sendiri.

Contohnya, mengkritik habis negara yang tidak mandiri secara ekonomi, banyak hutang dan investor asing. Tetapi dia sendiri masih bergantung pada uang bulanan dari orang tua.

Tidak apa-apa, sebab lagi idealis-idealisnya, maka harus kritis, perkuat konsep, baru masuk realitas.

Bagaimana agar negara maju? Atau setiap daerah maju? Maka jangan keliru milih pemimpin, jangan golput waktu pemilu. Pilih pemimpin yang sesuai dan bisa mengawal aspirasi masyarakat.

Tetapi bagaimana jika analoginya begini : jangan makan yang manis-manis, agar gula darah tidak naik. Tetapi yang tersaji di atas meja semua serba manis. Jadi lebih baik tidak makan.

Tetapi dalam pemilu, milih tidak milih tetap ada yang menang. Meskipun yang maju hanya satu pasangan, pesaingnya kertas kosong. Sementara yang berkompetisi, calon yang ada kurang meyakinkan, itu-itu saja, kurang greget.

Makan tidak makan, kena diabet juga. Hehe

Tetapi kalau mengingat perjuangan penyelenggara pemilu, mulai dari KPU, PPK, PPS, KPPS dan organ lain yang berhubungan, juga mempertimbangkan anggaran negara yang digelontorkan untuk hajatan demokrasi ini, rasanya kok sayang jika tidak menggunakan hak suara.

Memang semua perlu berbenah, khususnya diri sendiri. Sebab yang maju dalam pemilu saat ini, adalah cermin dari masyarakat.

Masyarakat yang pasif, permisif, kurang mempunyai tuntutan, atau hanya suka nyinyir. Apalagi yang bisa disumpal, atau disogok dengan uang 50.000 perak, untuk satu suara. Mudah ditundukkan.

Bayangkan jika publik kita sangat kritis. Minimal diri kita sendiri, yang perlu mengkaji latar belakang, rekam jejak, program yang ditawarkan, juga "beban politik" yang sangat mungkin menghambatnya ketika berkuasa nanti.

Jadi sehebat apapun pemimpin, kalau kiri kanannya banyak pembisik, banyak beban, maka tidak bisa lari kencang. Mobil ferari akan kalah dengan Avanza, kalau sambil jalan sambil nderek truk tronton. Malah tak beringsut.

Yang akan maju pun akan berfikir ulang, sebab rakyatnya sudah "sulit ditaklukkan". Jika pada akhirnya maju tanpa konsep yang matang, tanpa penguasaan, tanpa punya political will yang baik. Habislah sudah.

Apakah selama ini yang kurang? Sepertinya penyelenggara pemilu sudah kerja sangat ekstra. Tinggal partai politik, calon yang bertanding, tim sukses, atau yang berkaitan, yang perlu meninggalkan "kebiasaan lama".

Juga kita masyarakat, yang apatis, yang berfikir lebih baik golput, yang kadang kehilangan harapan, yang masih mau ditawar murah.

Namun bagaimanapun, memilih adalah hak. Tidak memilih juga adalah hak. Tetapi memilih atau tidak memilih tetap ada yang menang. Memilih atau tidak memilih, jika banyak kebijakan keliru diambil pemimpin kelak, kita juga yang merasakannya.

Seperti misalnya, ya itulah ...

Blitar, 27 Juni 2018
Lingkar Studi Sejarah Politik Indonesia (Lakspi)

0 comments:

Post a Comment